Telaah Kritis Aswajah Progresif( Studi Kasus Amaliyah An-Nahdliyah )
Berbicara perihal Azwaja (Ahli Sunnah Waljamaah), saya rasa sahabat sahabiyah telah paham mengenai prinsip apa saja yang telah di tanamkan dalam ajaran paham Ahli Sunnah Waljamaah. Pastinya sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia tentu telah mengamalkan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam paham Ahli Sunnah Waljamaah.
Prinsip-prinsip tersebut senantiasa di amalkan untuk menjaga ataupun melestarikan budaya lokal yang turun temuran telah dilaksanakan oleh kalangan masyarakat umum. Terkadang kita semua menganggap bahwa itu merupakan bagian dari pada amaliyah yang mesti dikerjakan, sebab telah menjadi bagian dari syariat islam yang mesti di laksanakan, Khususnya pada kalangan warga Nahdiyyin Ahli Sunnah wal jamaah. Walaupun kita sadar dan tahu bahwasanya ada amaliyah yang memang harus kita laksanakan (syariat), dan tidak masuk dalam wilayah syariat.
Pada dasarnya segala sesuatu yang harus kita kaji, harus tahu asal muasalnya dari mana, sama halnya dengan amaliah yang kita bahas bersama lewat tulisan ini. Amaliyah berarti tingkah laku sehari-hari yang berhubungan dengan masalah agama. Dalam pembahasan ini yang dimaksud amaliyah Nahdlatul Ulama (NU) adalah upaya perbuatan hati, ucapan, dan tingkah laku untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ajaran-ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah versi NU. Secara spesifik, Kyai Hasyim memberikan sebuah karakter, khususnya terhadap paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Kalangan muslim di Jawa berpegang teguh pada Ahlussunnah wal Jama’ah. Kyai Hasyim tidak menganggap bahwa pandangannya yang paling benar, dan tidak menganggap pandangan orang lain salah. Ia justru mengakui kemajemukan kelompok dalam lingkungan Islam.
Dalam konteks amaliyah An-nahdliyah Ahlusunnah waljamaah, banyak sekali amaliyah-amaliyah yang kita laksanakan dan telah mendarah daging bagi kalangan Nahdlatul ulama. Khusunya bagi kalangan cultural bukan structural yang bisa di katakan tidak paham akan asbab segala amaliah ini kita laksanakan. Harusnya sebgai warga yang menganut paham ahli sunnnah wal jamaah, perlu tahu dan paham asbab dari segala hal amaliah yang telah kita laksanakan.
Mengapa demikian ?, takutnya amaliah-amaliah yang selama ini kita laksanakan yang telah di anggap menjadi sesuatu hal yang wajib dan telah dianggap menjadi bagian dari syariat bagi warga An-Nahdliyah, merupukan produk yang bisa saja di katakan menyesatkan.
Sebab, tidak adanya landasan yang kuat di pahami oleh orang-oranya yang melaksanakan terkait dengan asbab. Akan tetapi, hanya sekadar dianggap kultur budaya yang harus di lestarikan.
Dalam tulisan ini kita bisa mengambil satu contoh amaliyah yang telah menjadi bagian kultur budaya lokal yang secara turun temurun di laksanakan oleh masyarakat khususnya warga annahdhliyah itu sendiri. Kasus itu ialah pelaksanan doa arwah dan takziyah yang sampai saat ini telah dianggap menjadi bagian dari syariat dan wajib dilaksanakan oleh masyarakat di Indonesia.
Pada dasarnya ada banyak amaliah yang sering di laksanakan oleh warga Nahdiyyin . Akan tetapi, pelaksanaan ta’ziyah dan doa arwah merupakan amaliah yangmarak di laksanakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Sehingganya ini merupakan contoh kasus yang menarik untuk kita diskusikan bersama. Yang menjadi masalah dalam pelaksanaan ini adalah pelaksanaan takziyah dan doa arwah yang tergolong memaksakan dan mesti di laksanakan. Apalagi bagi masyarakat yang hanya sebatas kultur sehingga menjadi hal penting dan wajib untuk mereka laksanakan.
Fakta pertama, Untuk kalangan kelas menangah keatas mungkin tidak akan menjadi permasalahan dalam pelaksanaan takziyah ataupun doa arwah ini. Akan tetapi bagaiman dengan kelas menengah kebawah, yang bisa saja hsl tersebut menjadi suatu beban bagi keluarga tersebut. Jikalau kita mengkaji dalam pandangan keluarga Nahdiyyin, kita semua paham bahwasanya segala sesuatu senantiasa mengedepankan kemashlahatan umat, yang harapannya senantiasa mengedapankan prinsip yang tidak memberatkan bagi masyarakat Indonesia khususnya warga An Nahdliyah.
Fakta selanjutnya adalah karena telah dianggap menjadi bagian dari kultur budaya yang telah menjadi suatu kewajiban ( syariat ), sehingganya kita hanya sebatas melaksanakan saja, bahkan tidak paham persoalan asbab kenapa hal ini di laksanakan, intinya di laksanakan saja, kasi makan orang yang datang melaksanakan doa Bersama, bahkan mungkin saja kita tidak tahu apa yang kita baca di saat kita melaksanakan hal tersebut.
Nah, jikalau hal ini terus menerus dibiarkan dan tetap laksanakan, takutnya akan terjadi pergesaran makna di dalamnya. Kita hanya sebatas berpandangan bahwa ini adalah suatu hal yang harus di laksanakan. Kasus sepertini banyak sekali terjadi di tengah-tengah kita, bahkan dalam skala lokalitas Gorontalo pun banyak kita temui hal demikian.
Pemahaman ini lah yang akan menjadi permasalahan yang sangat fatal jikalau di biarkan secara terus menerus, bahkan takutnya jika kita tidak berusaha mengkaji secara mendalam asal dan makna dari pelaksanaan tersebut, akan terjadi pergesaran nilai. Dari kasus ini, melalui essay ini penulis mencoba memberikan solusi yang bisa dikatakan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan tersebut, yakni :
1. Kita sepakati Bersama bahwa hal ini merupakan upaya ini jikalau kita kaji dalam tatanan ulama maka ini bisa di pahami dengan jelas bahwa ini hanya sebatas konsep amaliah, bukan suatu tuntunan atau kewajiban ( syariat ) untuk melaksankan hal tersebut. Artinya hal tersebut bukan lah hal yang menjadikan pembenaran keharusan dalam beragama.
2. Segala sesuatu yang harus kita laksankan atau lakukan, haruslah kita pahami terlebih dahulu asbab terjadinya kegiatan – kegiatan tersebut. Jangan sampai kita hanya sebatas menjalankan tanpau tahu sublimasi dari kegiatan yang kita lakukan. Artinya jangan hanya terfokus melestarikan tanpa tahu subtansi kebudayaan yang kita lakukan.
Komentar
Posting Komentar